Advertising

Senin, 30 September 2019

TEMPAT UNIK YANG KEREN

 




Image result for Vinicunca di Peru


Vinicunca di Peru

Seperti dikutip dari laman Dream.co.id, Kamis (26/07/2018), dengan nama asli Vinicunca, tempat ini telah masuk ke rekomendasi perjalanan yang harus dikunjungi di jajaran Pegunungan Andes yang tersohor itu. Pegunungan ini bisa jadi kaya akan warna karena es yang menutupinya meleleh dan tanah terus mengikis. Lapisan mineral yang mencair itu meninggalkan garis warna-warni di sepanjang punggung bukit.

Warna-warna yang timbul juga memiliki penjelasan masing-masing. Warna merah muncul karena teroksidasi besi (alias karat). Kuning terjadi karena kehadiran sulfida besi. Sedangkan ungu kecoklatan berasal dari goetit atau limonit yang teroksidasi. Dan hijau dari klorit (bukan vegetasi).

Agar bisa tiba di sana, ada beberapa pilihan pertama, kamu harus pergi ke Cusco dengan mengambil penerbangan lanjutan dari ibu kota Peru, Lima. Dari Lima, lanjutkan dengan naik bus selama tiga jam (biayanya sekitar Rp 450 ribu per orang). Untuk mencapai tempat dan mendapatkan spot paling mengesankan, Kamu harus mendaki jalan setapak yang kurang dari enam mil saat naik dan turun.

Kamu disarankan datang di jam 3.30 pagi untuk mendapatkan pemandangan yang mengagumkan. Saat cuaca cerah Kamu bisa benar-benar jelas menyaksikan gunung dengan warna-warni pelangi yang bergelombang ini.


Kendati ketinggian dapat menjadi faktor yang menantang bagi beberapa pejalan kaki, Kamu bisa menghabiskan beberapa hari di Cusco terlebih dahulu sebelum berkunjung ke tempat ini. Karena akan membantu Kamu menyesuaikan diri dengan kondisi di sana.





Zhangye Danxia di China

Lain halnya dengan gunung pelangi yang ada di wilayah China. Gunung tersebut merupakan bagian dari Zhangye Danxia Landform Geological Park yang terletak di provinsi Gansu, China, dengan luas sekitar 300 kilometer. Bukit dan lembahnya terdiri dari lapisan warna merah, biru, hijau zamrud, coklat dan kuning.

Selama bertahun-tahun, ahli geologi telah mempelajari bentuk-bentuk lahan unik Taman Nasional Zhangye Danxia untuk memahami proses pembentukan lanskap yang penuh warna ini. Penelitian mengungkapkan bahwa tanah di daerah itu pada awalnya sebagian besar datar dan terdiri dari lapisan batu pasir dan batu lanau dari periode cretaceous. Namun, ketika lempeng Eurasia dan India bertabrakan, kekuatan tumbukan tersebut memulai proses orogenik di wilayah tersebut. Ketika tanah datar membentuk gunung lipat, lapisan batuan sedimen yang terkubur menjadi terbuka. Erosi juga semakin merusak lapisan atas batuan siliciclastic, mengungkapkan lapisan internal sedimen. Warna-warna lanskap disebabkan oleh adanya berbagai mineral seperti hematit (merah), limonit (coklat), geothite dan besi sulfida (kuning), dan klorit (hijau). Mineral-mineral ini disemen ke pori-pori batu pasir oleh aksi air tanah yang diendapkan.

Daerah tersebut tak memiliki tumbuhan atau hewan apapun karena kondisi tanahnya yang tandus. Buku ‘Miracles of Al-Qur’an & As-Sunnah’ menjelaskan mengenai hal ini.

Mengutip laporan OkeZone.com, formasi batuan itu kemudian mengalami pergeseran lempeng tektonik yang juga membentuk Gunung Himalaya. Hujan dan angin yang melanda daerah itu selama jutaan tahun turut andil dalam membentuk ceruk, lembah, dan pola warna Zhangye Danxia.


Kabarnya, gunung ini akan menampilkan warna yang berbeda tergantung pada kondisi cuaca. Selain gunungnya yang berwarna-warni, Zhangye Danxia juga memiliki gua-gua yang tersembunyi di balik perbukitan. Karena keunikan kondisi alamnya tersebut, World Heritage Committee UNESCO memasukkan gunung ini dalam daftar Situs Warisan Dunia pada 2010.

Fakta bahwa terdapat gunung berwarna-warni telah disebutkan sejak Alquran diturunkan sekira 14 abad lalu.

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat,” Surah Fatir Ayat 27.

Kamis, 12 September 2019

Asal Mula Guntur

 

Asal Mula Guntur

petir

Dahulu kala, peri dan manusia hidup berdampingan dengan rukun. Mekhala, si peri cantik dan pandai, berguru pada Shie, seorang pertapa sakti. Selain Mekhala, Guru Shie juga mempunyai murid laki-laki bernama Ramasaur. Murid laki-laki ini selalu iri pada Mekhala karena kalah pandai. Namun Guru Shie tetap menyayangi kedua muridnya. Dan tidak pernah membedakan mereka.

Suatu hari Guru Shie memanggil mereka dan berkata, “Besok, berikan padaku secawan penuh air embun. Siapa yang lebih cepat mendapatkannya, beruntunglah dia. Embun itu akan kuubah menjadi permata, yang bisa mengabulkan permintaan apapun.” Mekhala dan Ramasaur tertegun. Terbayang oleh Ramasaur ia akan meminta harta dan kemewahan. Sehingga ia bisa menjadi orang terkaya di negerinya. Namun Mekhala malah berpikir keras. Mendapatkan secawan air embun tentu tidak mudah, gumam Mekhala di dalam hati.

Esoknya pagi-pagi sekali kedua murid itu telah berada di hutan. Ramasaur dengan ceroboh mencabuti rumput dan tanaman kecil lainnya. Tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Air embun selalu tumpah sebelum dituang ke cawan. Sebaliknya, Mekhala dengan hati-hati menyerap embun dengan sehelai kain lunak. Perlahan diperasnya lalu dimasukan ke cawan. Hasilnya sangat menggembirakan. Tak lama kemudian cawannya telah penuh. Mekhala segera menemui Guru Shie dan memberikan hasil pekerjaannya.

Guru Shie menerimanya dengan gembira. Mekhala memang murid yang cerdik. Seperti janjinya, Guru Shie mengubah embun itu menjadi sebuah permata sebesar ibu jari. ” Jika kau menginginkan sesuatu, angkatlah permata ini sejajar dengan keningmu. Lalu ucapkan keinginanmu,” ujar Guru Shie. Mekhala mengerjakan apa yang diajarkan gurunya, lalu menyebut keinginannya. Dalam sekejap Mekhala telah berada di langit biru. Melayang-layang seperti Rajawali. Indah sekali.

Sementara itu, baru pada senja hari Ramasaur berhasil mendapat secawan embun. Hasilnya pun tidak sejernih yang didapat Mekhala. Tergopoh-gopoh Ramasaur menyerahkannya pada Guru Shie. “Meskipun kalah cepat dari Mekhala, kau akan tetap mendapat hadiah atas jerih payahmu,” kata Guru Shie sambil menyerahkan sebuah kapak sakti. Kapak itu terbuat dari perak. Digunakan untuk membela diri bila dalam bahaya. Bila kapak itu dilemparkan ke sasaran, gunung pun bisa hancur.
Ternyata Ramasaur menyalahgunakan hadiah itu. Ia iri melihat Mekhala yang bisa melayang-layang di angkasa. Ramasaur segera melemparkan kapak itu ke arah Mekhala. Tahu ada bahaya mengancam, Mekhala menangkis kapak itu dengan permatanya. Akibatnya terjadilah benturan dahsyat dan cahaya yang sangat menyilaukan. Benturan itu terus terjadi hingga saat ini, berupa gelegar yang memekakkan telinga. Orang-orang menyebutnya “guntur”.

Raja Telinga Keledai

 

Raja Telinga Keledai

fabel, naratif

dahulu kala hiduplah seorang raja yang sewenang-wenang, Raja Zanas namanya. Kegemarannya menumpuk harta kekayaan  sebanyak-banyaknya  dari pajak rakyatnya. Raja Zanas terkenal sebagai seorang raja yang tamak dan sangat kikir. Rakyatnya hidup sengsara. Mereka tidak sekalipun pernah dipikirkan oleh sang raja. Anehnya raja yang zalim itu mempunyai kesukaan dalam mendengarkan musik.

Orang-orang bijak mengatakan bahwa musik dipercaya dapat memperhalus perasaan. Oleh karena nya bagi sispa yang menyukai mendengarkan musik, dipercaya akan mempunyai perasaan yang lembut tetapi cerdas. Raja Zanas sangat gemar mendengarkan tiupan suling. Kebetulan di negerinya ada seorang peniup seruling handal yang bernama Tarajan.

dikarenakan keahliannya, Raja Zanas sangat memanjakan Tarajan. Sang raja kerap mengirim peniup seruling itu ke seluruh pelosok negeri dan juga ke luar kerajaannya untuk mengikuti perlombaan. Karena kepiawaianya, Tarajan selalu jadi juara pertama dan memperoleh banyak hadiah yang menggiurkan. Alangkah sayangnya, hal itu Tarajan jadi sombong dan congkak. Karena sombongnya Tarajan sesumbar dapat mengalahkan Dewa Apolo, seorang Dewa bangsa Yunani yang diyakini menguasai seni musik.

Suatau hari, Tarajan m,entyampaikan keingannya kepada Raja Zanas agar ia dipertandingkan dengan Apolo. Usul aneh itu diterima dengan baik bahkan raja merasa bangga jika Tarajan dapat mengalahkan pemain musik dari kerajaan langit itu. Dewa Apolo yang mendengar tantangan itu menyanggupi. Dari sisi, Dewa itu ingin memberi pelajaran pada Tarajan dan Raja Zanas yang berkelakuan tidak lazim.

“Jika nanti aku kalah bermain seruling, biarlah aku menjadi abdi Raja Zanas seumur hidupku. Akan tetapi, bila ternyata aku yang menang, aku minta separuh kerajaanmu dan akan kuserahkan pada rakyatmu” kata Dewa Apolo kepada Raja Zanas. Mendengar hal itu, Raja Zanas dan Tarajan setuju. Mereka begitu yakin dapat mengalahkan keahlian Apolo dalam meniup seruling, dikarenakan ia yang tampak masih sangat muda itu.

Pada hari yang telah ditentukan pertandingan meniup seruling dimulai. Seluruh rakyat tumpah ruah ke halaman Istana Raja Zanas. Dewa Zeus sebagai penguasa seluruh khayangan di dampingi para dewa yang lain ikut menyaksikan tanpa seorang pun yang tahu. Sebagai penantang tentu saja Tarajan dipersilakan meniup seruling terlebih dahulu. Dengan pongah Tarajan naik ke atas podium lalu segera meniup serulingnya. Seruling emas berbalut intan permata milik Tarajan segera mengumandangkan lagu-lagi yang sangat merdu. suara seruling itu naik turun seperti ombak, iramanya terdengar lembut seperti angin pesisir dan terkadang bergolak seperti ombak menerjang karang.

Para penonton yang mendengarkan suara seruling Tarajan bagaikan tersihir. Begitu hebatnya tiupan seruling Tarajan. Raja Zanas yang menyaksikan acara tersebut tertawa terbahak-bahak. Dia amat  yakin sekali peniup serulingnya akan keluar jadi pemenang. Tetapi Dewa Apolo tampak begitu tenang. dia tetap duduk diam bagaikan patung, dengan senyum di bibirnya. Dia tampak kagum juga pada permainan seruling Tarajan. Sesudah selesai meniup seruling, Tarajan berdiri berkacak pinggang dengan wajah sangat pongah diiringi sorak sorai penonton yang bergemuruh seperti membelah angkasa

Kini giliran Dewa Apolo untuk menunjukkan kebolehannya. Dewa kesenian itu mengangkat serulingnya dengan cantik sekali. cara memegang serulingnya tampah sangat lembut bagaikan sedang menimang bayi suci. Tatkala bibirnya meniupkan sebuah lagu, langit tampak berpendar-pendar di antara siang dan malam. Para penonton dibuat terkesima dalam irama yang luar begitu biasa merdunya. Dengan mata terpejam tanpa mereka sadari, semua yang hadir ikut menari dengan lembut sekali. Mereka pun ikut menyanyi sebuah lagu kedamaian yang sekonyong-konyong mampu  mereka nyanyikan. Rakyat yang tumpah ruah di acara itu begitu larut dalam lagu-lagu dan irama yang sebelumnya tidak pernah mereka dengarkan tetapi sangat merdu mendayu-dayu di telinga mereka.
Setelah Dewa Apolo menyelesaikan permainannya, Dewa Zeus menampakkan diri. Orang -orang terkejut melihatnya. Lalu, Dewa Zeus menyatakan Dewa Apolo sebagai pemenangnya dengan beberapa kriteria yang diterima oleh semua yang hadir. Lalu Dewa Zeus meminta Raja Zanas untuk segera memenuhi janjinya dengan memberikan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Tetapi Raja Zanas yang kikir itu menolak dengan berbagai argumen sehingga membuat Dewa Zeus marah. “Hai Raja zanas, selama kau tidak memberikan pada rakyat apa yang telah kau janjikan, maka telingamu akan membesar setiap hari.” Kata Dewa Zeus.

Apa yang dikatakan Dewa Zeus menjadi kenyataan. Telinga Raja Zanas tiap hari semakin tumbuh membesar hingga sangat berat dan membuatnya tidak bisa berdiri dan berjalan. Jadilah ia raja bertelinga keledai. Akhirnya Raja Zanas bertaubat dan menyerahkan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Dan berjanji tidak lagi kikir dan tamak. Dewa Zeus yang menjadi saksi dari ucapannya memaafkan dan merubah Raja Zanas menjadi manusia normal kembali.




Peri dan Hutan Berkabut

 

Peri dan Hutan Berkabut

naratif

Dahulu kala, di sebuah desa terpencil di tepi hiduplah seorang anak perempuan lugu yang bernama Sheila. Ia senang sekali bermain di tepi hutan di dekat rumahnya. Ibunya tak jemu-jemunya untuk selalu mengingatkannya agar tak terlalu jauh masuk ke hutan. Penduduk desa itu percaya, orang yang terlalu jauh masuk ke hutan, tak akan pernah kembali. Bagian dalam hutan itu diselubungi kabut tebal. Tak seorang pun dapat menemukan jalan pulang jika sudah tersesat.

Sheila selalu mengingat pesan ibunya. Namun ia juga penasaran ingin mengetahui daerah berkabut itu. Setiap kali pergi bermain, ibu Sheila selalu membekalinya dengan sekantong kue, permen, coklat, dan sebotol jus buah. Sheila sering datang ke tempat perbatasan kabut di hutan. Ia duduk di bawah pohon dan menikmati bekalnya di sana. Sheila ingin sekali melangkahkan kakinya ke dalam daerah berkabut itu. Namun ia takut.

Suatu kali, seperti biasa Sheila datang ke daerah perbatasan kabut. Seperti biasa ia duduk menikmati bekalnya. Tiba-tiba Sheila merasa ada beberapa pasang mata memperhatikannya. Ia mengarahkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tahu. Namun Sheila tak menemukan siapa-siapa. “Hei! Siapa pun itu, keluarlah! Jika kalian mau, kalian dapat makan kue bersamaku,” teriak Sheila penasaran.

Mendengar tawaran Sheila, beberapa makhluk memberanikan diri muncul di depan Sheila. Tampak tiga peri di hadapan Sheila. Tubuh mereka hanya separuh tinggi badan Sheila. Di punggungnya ada sayap. Telinga mereka berujung lancip. Dengan takut-takut mereka menghampiri Sheila. Anak kecil pemberani itu tanpa ragu-ragu menyodorkan bekalnya untuk dimakan bersama-sama. Peri-peri itu bernama Pio, Plea, dan Plop. Ketiga peri itu kakak beradik.

Sejak saat itu Sheila dan ketiga kawan barunya sering makan bekal bersama-sama. Kadang mereka saling bertukar bekal. Suatu hari Sheila bertanya kepada ketiga temannya, “Pio, Plea, Plop. Mengapa ada daerah berkabut di hutan ini? Apa isinya? Dan mengapa tak ada yang pernah kembali? Kalian tinggal di hutan sebelah mana?” tanya Sheila penuh ingin tahu. Mendengar pertanyaan Sheila ketiga peri itu saling bertukar pandang. Mereka tahu jawabannya namun ragu untuk memberi tahu Sheila. Setelah berpikir sejenak, akhirnya mereka memberitahu rahasia hutan berkabut yang hanya diketahui para peri.

“Para peri tinggal di balik hutan berkabut. Termasuk kami. Kabut itu adalah pelindung agar tak seorang pun dapat masuk ke wilayah kami tanpa izin. Kami tiga bersaudara adalah peri penjaga daerah berkabut. Jika kabut menipis, kami akan meniupkannya lagi banyak-banyak. Jika ada tamu yang tak diundang masuk ke wilayah kami, kami segera membuatnya tersesat,” jelas Pio, Plea, Plop.
Sheila terkagum-kagum mendengarnya. “Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu waktu?” tanya Sheila berharap. Ketiga peri itu berembuk sejenak. “Baiklah. Kami akan mengusahakannya,” kata mereka. Tak lama kemudian Sheila diajak Pio, Plea dan Plop ke negeri mereka. Hari itu Sheila membawa kue, coklat, dan permen banyak-banyak. Sebelumnya, Sheila didandani seperti peri oleh ketiga temannya. Itu supaya mereka bisa mengelabui para peri lain. Sebenarnya manusia dilarang masuk ke wilayah peri. Ketiga teman Sheila ini juga memberi kacamata khusus pada Sheila. Dengan kacamata itu Sheila dapat melihat dengan jelas.

Daerah berkabut penuh dengan berbagai tumbuhan penyesat. Berbagai jalan yang berbeda nampak sama. Jika tidak hati-hati maka akan tersesat dan berputar-putar di tempat yang sama. Dengan bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke negeri peri. Di sana rumah tampak mungil. Bentuknya pun aneh-aneh. Ada rumah berbentuk jamur, berbentuk sepatu, bahkan ada yang berbentuk teko. Pakaian mereka seperti kostum untuk karnaval. Kegiatan para peri pun bermacam-macam. Ada yang mengumpulkan madu, bernyanyi, membuat baju dari kelopak bunga… Semua tampak riang gembira.

Sheila sangat senang. Ia diperkenalkan kepada anak peri lainnya. Mereka sangat terkejut mengetahui Sheila adalah manusia. Namun mereka senang dapat bertemu dan berjanji tak akan memberi tahu ratu peri. Rupanya mereka pun ingin tahu tentang manusia. Mereka bermain gembira. Sheila dan para anak peri berkejar-kejaran, bernyanyi, bercerita dan tertawa keras-keras. Mereka juga saling bertukar makanan. Pokoknya hari itu menyenangkan sekali.


Tiba-tiba ratu peri datang. “Siapa itu?” tanyanya penuh selidik. “Ratu, dia adalah teman hamba dari hutan utara,” jawab Plop takut. Ia terpaksa berbohong agar Sheila tak ketahuan. Ratu peri memperhatikan Sheila dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah itu ia pergi. Sheila bermain lagi dengan lincah. Namun sayang ia terpeleset. Sheila jatuh terjerembab. Ketika itu cuping telinga palsunya copot. Ratu peri melihat hal itu. Ia amat marah. 


“Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya?” teriaknya mengelegar. Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar. “Kami, Ratu,” jawab mereka gugup. “Ini pelanggaran. Jika ada manusia yang tahu tempat ini, maka tempat ini tidak aman lagi. Kalian harus dihukum berat,” teriak ratu peri marah. Sheila yang saat itu juga ketakutan memberikan diri maju ke depan. “Mereka tidak bersalah, Ratu. Akulah yang memaksa mereka untuk membawaku kemari.” “Kalau begitu, kau harus dihukum menggantikan mereka!” gelegar ratu peri.

Sheila dimasukkan ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun ketika api sudah dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. “Keluarlah! Kau lulus ujian, ” kata ratu peri. Ternyata kebaikan hati Sheila membuat ia lolos dari hukuman. Ia diperbolehkan pulang dan teman perinya bebas hukuman. Ratu peri membuat Sheila mengantuk dan tertidur. Ia menghapus ingatan Sheila tentang negeri peri. Namun ia masih menyisakannya sedikit agar Sheila dapat  mengingatnya di dalam mimpi. Ketika terbangun, Sheila berada di kasur kesayangannya.




Anak Katak yang Sombong

 

Anak katak yang sombong

katak

Di tengah padang rumput yang sangat luas, terdapat sebuah kolam yang dihuni oleh berpuluh-puluh katak. Diantara katak-katak tersebut ada satu anak katak yang bernama Kenthus, dia adalah anak katak yang paling besar dan kuat. Karena kelebihannya itu, Kenthus menjadi sangat sombong. Dia merasa kalau tidak ada anak katak lainnya yang dapat mengalahkannya.

Sebenarnya kakak Kenthus sudah sering menasehati agar Kentus tidak bersikap sombong pada teman-temannya yang lain. Tetapi nasehat kakaknya tersebut tidak pernah dihiraukannya. Hal ini yang menyebabkan teman-temannya mulai menghindarinya, hingga Kenthus tidak mempunyai teman bermain lagi.

Pada suatu pagi, Kenthus berlatih melompat di padang rumput. Ketika itu juga ada seekor anak lembu yang sedang bermain di situ. Sesekali, anak lembu itu mendekati ibunya untuk menyedot susu. Anak lembu itu gembira sekali, dia berlari-lari sambil sesekali menyenggok rumput yang segar. Secara tidak sengaja, lidah anak sapi yang dijulurkan terkena tubuh si Kenthus.

"Huh, berani makhluk ini mengusikku," kata Kenthus dengan perasaan marah sambil coba menjauhi anak lembu itu. Sebenarnya anak lembu itu pula tidak berniat untuk mengganggunya. Kebetulan pergerakannya sama dengan Kenthus sehingga menyebabkan Khentus menjadi cemas dan melompat dengan segera untuk menyelamatkan diri.

Sambil terengah-engah, Kenthus sampai di tepi kolam. Melihat Kenthus yang kelihatan sangat capek, kawan-kawannya nampak sangat heran. "Hai Khentus, mengapa kamu terengah-engah, mukamu juga kelihatan sangat pucat sekali,” Tanya teman-temannya.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya cemas saja. Lihatlah di tengah padang rumput itu. Aku tidak tahu makhluk apa itu, tetapi makhluk itu sangat sombong. Makhluk itu hendak menelan aku." Kata Kenthus..

Kakaknya yang baru tiba di situ menjelaskan. " Makhluk itu anak lembu. sepengetahuan kakak, anak lembu tidak jahat. Mereka memang biasa dilepaskan di padang rumput ini setiap pagi."

"Tidak jahat? Kenapa kakak bias bilang seperti itu? Saya hampir-hampir ditelannya tadi," kata Kenthus. "Ah, tidak mungkin. Lembu tidak makan katak atau ikan tetapi hanya rumput." Jelas kakaknya lagi.

"Saya tidak percaya kakak. Tadi, aku dikejarnnya dan hampir ditendang olehnya." Celah Kenthus. "Wahai kawan-kawan, aku sebenarnya bisa melawannya dengan mengembungkan diriku," Kata Kenthus dengan bangga.

" Lawan saja Kenthus! Kamu tentu menang," teriak anak-anak katak beramai-ramai.
"Sudahlah Kenthus. Kamu tidak akan dapat menandingi lembu itu. Perbuatan kamu berbahaya. Hentikan!" kata Kakak Kenthus berulang kali tetapi Kenthus tidak mempedulikan nasehat kakaknya. Kenthus terus mengembungkan dirinya, karena dorongan dari teman-temannya. Sebenarnya, mereka sengaja hendak memberi pelajaran pada Kenthus yang sombong itu.

"Sedikit lagi Kenthus. Teruskan!" Begitulah yang diteriakkan oleh kawan-kawan Kenthus. Setelah perut Kenthus menggembung dengan sangat besar, tiba-tiba Kenthus jatuh lemas. Perutnya sangat sakit dan perlahan-lahan dikempiskannya. Melihat keadaan adiknya yang lemas, kakak Kenthus lalu membantu.

Mujurlah Kenthus tidak apa-apa. Dia sembuh seperti sedia kala tetapi sikapnya telah banyak berubah. Dia malu dan kesal dengan sikapnya yang sombong.




Nyamuk Pertama

 

Nyamuk Pertama

nyamuk

Pada zaman dahulu hiduplah seorang petani sederhana bersama istrinya yang cantik. Petani itu selalu bekerja keras, tetapi istrinya hanya bersolek dan tidak mempedulikan rumah tangganya. Mereka tinggal di rumah yang sangat sederhana dan hidup dari hasil pertanian sebagaimana layaknya keluarga petani.

Sang istri yang cantik itu tidak puas dengan keadaan mereka. Dia merasa, sudah selayaknya jika suaminya berpenghasilan lebih besar supaya dia bisa merawat kecantikannya. Untuk memenuhi tuntutan istrinya, petani itu bekerja lebih keras. Namun, sekeras apa pun kerja si petani, dia tak mampu memenuhi tuntutan istrinya. Selain minta dibelikan obat-obatan yang dapat menjaga kecantikanya, istrinya juga suka minta dibelikan pakaian yang bagus-bagus --yang tentunya sangat mahal.

 “Bagaimana bisa kelihatan cantik kalau pakaianku buruk,” kata sang istri.
Karena hanya sibuk mengurusi penampilan, istri yang cantik itu tidak memperhatikan kesehatannya. Dia jatuh sakit. Sakitnya makin parah hingga akhirnya meninggal dunia. Suaminya begitu sedih. Sepanjang hari dia menangisi istrinya yang kini terbujur tanpa daya. Karena tak ingin kehilangan, petani itu tak mau mengubur tubuh istrinya yang amat dicintainya itu. Dia ingin menghidupkan kembali istrinya.

Esok harinya suami yang malang itu menjual semua miliknya dan membeli sebuah sampan. Dengan sampan itu dia membawa jasad istrinya menyusuri sungai menuju tempat yang diyakini sebagai persemayaman para dewa. Dewa tentu mau menghidupkan kembali istriku, begitu pikirnya.

Meskipun tak tahu persis tempat persemayaman para dewa, petani itu terus mengayuh sampannya. Dia mengayuh dan mengayuh tak kenal lelah. Suatu hari, kabut tebal menghalangi pandangannya sehingga sampannya tersangkut. Ketika kabut menguap, di hadapannya berdiri sebuah gunung yang amat tinggi, yang puncaknya menembus awan. Di sinilah tempat tinggal para dewa, pikir Petani. Dia lalu mendaki gunung itu sambil membawa jasad istrinya.

Dalam perjalanan dia bertemu dengan seorang lelaki tua.
“Kau pasti dewa penghuni kayangan ini,” seru si petani dengan gembira.
Dikatakannya maksud kedatangannya ke tempat itu.
Laki-laki tua itu tersenyum.
“Sungguh kau suami yang baik. Tapi, apa gunanya menghidupkan kembali istrimu?”
“Dia sangat berarti bagiku. Dialah yang membuat aku bersemangat. Maka hidupkanlah dia kembali,” kata si petani.

Laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya.
 “Baiklah kalau begitu. Akan kuturuti permintaanmu. Sebagai balasan atas kebaikan dan kerja kerasmu selama ini, aku akan memberimu rahasia bagaimana cara menghidupkan kembali istrimu. Tusuk ujung jarimu, lalu percikkan tiga tetes darah ke mulutnya. Niscaya dia akan hidup kembali. Jika setelah itu istrimu macam-macam, ingatkan bahwa dia hidup dari tiga tetes darahmu.”
Petani itu segera melaksanakan pesan dewa itu.

Ajaib, istrinya benar-benar hidup kembali. Tanpa pikir panjang, suami yang bahagia itu pun membawa pulang istrinya. Tapi, sang istri tahu, selain sampan yang dinaiki mereka, kini suaminya tak punya apa-apa lagi. Lalu, dengan apa dia merawat kecantikannya?

Suatu hari, sampailah suami-istri itu di sebuah pelabuhan yang sangat ramai. Petani turun dari sampan dan pergi ke pasar untuk membeli bekal perjalanan dan meninggalkan istrinya sendirian di sampan. Kebetulan, di sebelah sampan mereka bersandar sebuah perahu yang sangat indah milik seorang saudagar kaya yang sedang singgah di tempat itu. Melihat kecantkan istri si petani, pemiliik perahu itu jatuh cinta dan membujuk perempuan cantik itu untuk ikut bersamanya.

“Kalau kau mau ikut denganku, akan aku belikan apa saja yang kau minta,” kata sang saudagar.
Sang istri petani tergoda. Dia lalu pergi dengan saudagar itu.

Pulang dari pasar Petani terkejut karena istrinya tak ada lagi di sampannya. Dia mencari ke sana-kemari, tetapi sia-sia. Setahun kemudian, bertemulah dia dengan istrinya, tetapi istrinya menolak kembali kepadanya. Petani lalu teringat kepada dewa yang memberinya rahasia menghidupkan kembali istrinya.

“Sungguh kau tak tahu berterima kasih. Asal tahu saja, kau hidup kembali karena minum tiga tetes darahku.” Istrinya tertawa mengejek. “Jadi, aku harus mengembalikan tiga tetes darahmu? Baiklah…” Sang istri pun menusuk salah satu jarinya dengan maksud memberi tiga tetes darahnya kepada suaminya. Namun, begitu tetes darah ketiga menitik dari jarinya, wajahnya memucat, tubuhnya lemas, makin lemas, hingga akhirnya jatuh tak berdaya. Mati.

Setelah mati, dia menjelma menjadi nyamuk. Sejak itu, setiap malam nyamuk jelmaan wanita cantik itu berusaha menghisap darah manusia agar dapat kembali ke ujudnya semula. 





Pulau Hantu

 

Pulau Hantu


hantu

Tersebutlah dua orang jagoan yang selalu ingin menunjukkan dirinya lebih jago dari yang lain. Pada suatu hari, mereka bertemu di perairan sebelah selatan Singapura. 

Tanpa ba atau bu, mereka langsung saling menyerang. Mereka bertarung lama sekali hingga tubuh mereka bersimbah darah. Karena sama-sama kuat, tak ada tanda-tanda siapa yang akan kalah. 
Jin Laut tidak suka dengan pertarungan itu karena darah mereka mengotori laut. Jin Laut lalu menjungkirbalikkan perahu mereka. Maksudnya agar mereka berhenti bertarung. Ternyata, mereka tetap bertarung. Dengan kesaktiannya masing-masing, mereka bertarung di atas air. 

“Hei, aku perintahkan kalian berhenti beratarung! Ini wilayah kekuasaanku. Kalau tidak…” 
Bukannya berhenti, kedua jagoan itu malah bertempur lebih seru. Dengan isyarat tangan, mereka bahkan seperti mengejek Jin Laut. 

Jin Laut marah. Dia menyemburkan air ke wajah kedua jagoan itu sehingga pandangan mereka terhalang. Karena tak dapat melihat dengan jelas, kedua jagoan itu bertempur secara membabi-buta. Mereka mengayunkan pedang ke sana-kemari sekehendajk hati sampai akhirnya bersarang di tubuh lawan masing-masing. Kedua jagoan itu pun menemui ajalnya. 

Para dewa di kayangan mura karena Jin Laut turut campur urusan manusia. Mereka memperingatkan Jin Laut untuk tidak lagi ikut campur urusan manusia. Jin Laut mengaku salah dan mencoba menebus dosa dengan membuatkan tempat khusus agar roh kedua jagoan itu dapat bersemayam dengan tenang. Jin Laut menyulap sampan yang ditumpangi kedua jagoan itu menjadi pulau tempat bersemayam roh mereka. Orang-orang kemudian menyebut pulau itu sebagai Pulau Hantu. 



Bukit Merah

 

Bukit Merah

bukit merah

Dulu, Singapura pernah direpotkan oleh ikan todak. Ikan bermoncong panjang dan tajam itu suka menyerang penduduk. Tak terhitung berapa banyak penduduk yang luka-luka dan mati akibat serangan ikan ganas itu.

Raja kemudian memerintahkan penglima perangnya untuk menaklukkan ikan-ikan jahat itu. Maka, dipersiapkanlah sepasukan prajurit untuk membunuh ikan itu. Akan tetapi, hampir semua prajurit itu mati di moncong Todak. Raja bingung bagaimana menundukkan ikan itu.
Di tengah kebingungannya, Raja didatangi seorang anak kecil.

Mohon ampun, Paduka yang Mulia, bolehkah hamba mengatakan sesuatu tentang ikan-ikan itu?”
“Katakanlah!”
Ikan-ikan itu hanya bisa ditaklukkan dengan pagar pohon pisang.”
“Apa maksudmu?”

Yang dimaksud anak kecil itu adalah pagar yang terbuat dari batang pohon pisang. Pohon-pohon itu ditebang, dijajarkan, kemudian direkatkan dengan cara ditusuk dengan bambo antara yang satu dan lainnya hingga menyerupai pagar. Pagar itu kemudian ditaruh di pinggir pantai, tempat ikan-ikan itu biasa menyerang penduduk.

Raja kemudian memerintahkan Panglima untuk membuat apa yang dilkatakan anak kecil itu. Diam-diam Panglima mengakui kepintaran si anak. Diam-diam pula dia membenci anak kecil itu. Gagasan si anak membuat Panglima merasa bodoh di hadapan Raja.

“Seharusnya akulah yang mempunyai gagasan itu. Bukankah aku panglima perang tertinggi? Masak aku kalah oleh anaka kecil,” katanya dalam hati.

Keesokan harinya, selesailah pagar pohon pisang itu. Pagar itu lalu ditaruh di tepi pantai sebagaimana yang dikatakana si anak kecil.

Ternyata benar. Ikan-ikan yang menyerang pagar pohon pisang itu tak bisa menarik kembali moncongnya. Mereka mengelepar-gelepar sekuat tenaga, tetapi sia-sia. Moncong mereka yang panjang dan tajam itu menancap kuat dan dalam pada batang pohon pisang yang lunak itu. Akhirnya, dengan mudah penduduk dapat membunuh ikan-ikan jahat itu.
Si anak pun diberi hadiah oleh Raja.

“Terima kasih. Kau sungguh-sungguh anak yang pintar,” puji Raja.
Orang-orang bersuka cita.
Akan tetapi, panglima perang yang iri dan kesal karena merasa tampak bodoh di hadapan Raja itu menghasut Raja.
“Baginda, anak kecil yang cerdas itu tampaknya bisa menjadi ancaman jika dia besar nanti.”
“Maksudmu?”
 “Siapa tahu, setelah besar nanti, dengan kepintarannya dia berhasrat merebut tahta Paduka.”
 Raja terhasut. Ia lalu memerintahkan Sang Panglima untuk menyingkirkan anak itu.

Sang Panglima mendatangi rumah anak kecil itu dan dengan licik membunuh anak tak berdosa itu. Anehnya, darah si anak mengalir deras dan membasahi seluruh tanah bukit tempat anak itu tinggal. Seluruh bukit menjadi merah. Orang-orang lalu menyebut tempat itu Bukit Merah.